Posts filed under ‘Music’

Lilis Surjani

(22 Agustus 1948 – 7 Oktober 2007) seorang penyanyi senior Indonesia terkenal dengan lagunya yang berjudul Tiga Malam, lagu yang populer pada zaman konfrontasi Indonesia Malaysia dan Gang Kelinci (Ciptaan Titiek Puspa). Salah satu ciptaannya, Si Baju Loreng yang bertemakan kekaguman seorang gadis terhadap seorang anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), bahkan menjadi lagu yang menjadi pengobar heroisme tersendiri di pertengahan 1960-an. Lilis yang bertubuh mungil dan rambut model jambul ini juga seorang drummer dan pernah membintangi sederet film layar lebar pada kurun waktu 1964-1974. Antara 1963-1966, saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, Lilis tercatat banyak menulis sekaligus menyanyikan lagu-lagu bertema patriotik dan pemicu semangat bernegara, diantaranya Pergi Berjoeang, Tiga Malam, Kau Pembela Nusa Bangsa, Mohon Diri, Baju Loreng, Hurryku Sayang, dan Berita.

Pada tahun 1968, Lilis membentuk sebuah band wanita yang diberi nama The Females bersama Rita Rachman (Keyboard) dan Rose Sumanti. Ia bermain drum di kelompok ini. Saat itu, kancah musik negeri ini diwarnai maraknya band-band wanita, seperti Dara Puspita, The Singers, The Reynettes, The Beach Girls, dan banyak lagi. Ketika ketenarannya memudar di Indonesia pada akhir 70-an, justru Lilis tetap dikenang di Malaysia hingga saat sekarang ini. Siti Nurhaliza misalnya, menyatakan kekaguman terhadap Lilis dalam salah satu albumnya, Siti Nurhaliza menyanyikan hit besar Lilis berjudul Tiga Malam. Ia juga mempopulerkan lagu daerah yang berjudul Gendjer-gendjer yang diciptakan oleh M. Arief, salah seorang seniman dari Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu ini dikaitkan dengan Gerakan 30 September PKI (Gestapo/G30S PKI) sehingga dilarang dimainkan ataupun dinyanyikan setelah tahun 1965. Lilis Surjani meninggal pada hari Minggu tanggal 7 Oktober 2007 sekitar jam 21.30 WIB dalam usia 59 tahun, meninggalkan tiga anak serta delapan cucu. Ia wafat setelah berjuang selama 4 tahun melawan penyakit kanker rahim yang dideritanya.

Sejarah lagu Gendjer-gendjer
Lagu Gendjer-gendjer sebenarnya menceritakan tentang kehidupan rakyat (terutama petani) yang hidupnya susah dan miskin sehingga mereka harus makan dengan tanaman air yaitu genjer (Limnocharis Flava) yang banyak ditemukan di pesawahan di daerah tersebut. Hanya saja lyric dari lagu ini kemudian diplesetkan oleh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang merupakan salah satu organisasi dibawah naungan (anak partai) PKI pada jaman orde lama. Lagu ini dinyanyikan oleh Gerwani pada saat pemberontak PKI melakukan penyiksaan dan pembunuhan secara biadab terhadap 7 orang Jenderal (Pahlawan Revolusi) yang berhasil diculiknya dan kemudian para Jenderal tersebut dikubur dalam 1 sumur yang bernama Lubang Buaya di kawasan Jakarta Timur. Hingga akhirnya lagu ini dibredel (dilarang beredar/dicekal) dimasa pemerintahan Orde Baru (Pemerintahan Presiden Soeharto). Beberapa musisi Banyuwangi ingin merilis ulang lagu ini tapi dilarang oleh Kodim setempat. Berikut lyric asli dari lagu tersebut:

Lilis Surjani – Gendjer-gendjer (M. Arief, 1962)

Gendjer-gendjer neng kedokan pating keleler
Gendjer-gendjer neng kedokan pating keleler
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Oleh satenong mungkur sedot sing tolah-tolih
Gendjer-gendjer saiki wis digawa mulih

Gendjer-gendjer esuk-esuk didol ning pasar
Gendjer-gendjer esuk-esuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi pada didasar
Dijejer-jejer diuntingi pada didasar
Emake djebeng podo tuku nggawa welasan
Gendjer-gendjer saiki wis arep diolah

Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
setengah mateng dientas digawe iwak
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sa piring sambel petjel ndok ngamben
gendjer-gendjer dipangan musuhe sega

yang artinya:
Genjer-genjer di selokan berceceran
Ibu si anak datang mencabut genjer
Dapat sekeranjang pulang tanpa tolah-toleh
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang

Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Dijajar, diikat, dibeberkan di lantai
Ibu si anak beli membawa belasan
Genjer-genjer sekarang sudah akan diolah

Genjer-genjer dimasukkan kedalam panci air panas
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal pecel di tempat tidur
Genjer-genjer dimakan dengan nasi

Februari 11, 2009 at 9:48 am 1 komentar

Majalah Rolling Stone Berubah Format

rolling-stone-thumb

Majalah Rolling Stone dikabarkan akan merubah format majalahnya. Selama ini, selama lebih dari 4 dekade (= lebih dari 40 tahun), Rolling Stone terkenal dengan formatnya yang lebih besar dari majalah-majalah lainnya. Saya pribadi lebih mudah untuk menemukan majalah Rolling Stone di tumpukan majalah saya, sekaligus paling sulit menyimpan tumpukan koleksi RS karena besar formatnya. Tetapi dari sisi visual, lebih asik menikmati koleksi foto-fotonya.

Anyway perubahan format ini, akan dimulai untuk issue tanggal 30 Oktober dan akan diterbitkan minggu ini. Dengan perubahan format ini diharapkan dapat meningkatkan oplah penjualan per copy majalah (yang konon sekarang hanya menyumbang 8% dari total hasil penjualan) dan menurunkan biaya advertising selipan yang berbentuk kartu pos yang bisa disobek ataupun bentuk lainnya di luar biaya cetak majalahnya. Penurunan biaya ini akan diseimbangkan dengan menambah halaman dan meningkatkan kualitas kertas cetak.

Lebih jauh, cover yang dipilih untuk edisi pertama dalam format baru, format perubahan, ini adalah Barrack Obama, senator yang sedang berkampanye untuk menjadi Presiden Amerika Serikat. Yang lucu, cover edisi terakhir format lama adalah kartun John McCain.

Menurut editor Jann S. Wenner:

Seperti Obama yang kami tampilkan di cover Rolling Stone 3 kali dalam 7 bulan terakhir, kami menyambut ide-ide perubahan. Bukan berubah sekedar ingin berubah, tetapi berubah sebagai evolusi, pertumbuhan dan pembaharuan. Berubah sebagai bentuk evolusi budaya yang membentuk Rolling Stone itu sendiri 40 tahun yang lalu.

Semoga sukses untuk Rolling Stone.

November 15, 2008 at 11:18 am 1 komentar

Chinese Democracy akan segera hadir?

axlrosepic

Tampaknya penantian lama penggemar Guns N’ Roses akan karya-karya terbaru band paling berbahaya sejagad ini akan segera terpuaskan. Menurut “New York Times”, Guns N’ Roses akan merilis salah satu lagu album terbaru mereka “Chinese Democracy” dengan judul Shackler’s Revenge pada September ini sebagai salah satu track yang bisa teman-teman mainkan di game “Rock Band 2”. Kabar ini tentu saja membawa angin segar untuk seluruh pencinta Guns N Roses yang selama ini hanya bisa puas dengan versi “leak” atau versi bocoran (tidak resmi) dari album tersebut.

Tanda-tanda segera dirilisnya album “Chinese Democracy” pun semakin nyata saat website ww.gunsnroses.us merilis 3 video lagu-lagu dari album tersebut dengan judul “Madagascar”, “There Was A Time”, dan “Chinese Democracy“. Memang http://www.gunsnroses.us bukanlah website resmi
dari band yang dipimpin oleh Axl Rose tersebut, tapi adapun kualitas audio yang amatlah baik dan permainan gitaris baru Guns N Roses, Ron “Bumblefoot” Thal, semakin memperkuat dugaan bahwa xl akan segera melepas album ini kepasaran.

“Chinese Democracy” akan menjadi album original pertama Guns N Roses setelah lebih dari 15 tahun. Adapun album “Spaghetti Incident” tidak dihitung dikarenakan materi album tersebut adalah lagu-lagu lama yang dicover oleh Guns N Roses. Dikarenakan lamanya proses pembuatan “Chinese Democracry”, ada kemungkinan bahwa Axl akan membuat trilogi dari album ini dan jika album ini dirilis, maka album ini akan menjadi album yang paling mahal pembuatannya.

Untuk teman-teman yang ingin mendengarkan permainan gitar Ron Thal di album Chinese Democracy,
bisa mengunjungi link berikut : http://www.gunsnroses.us

November 15, 2008 at 10:14 am Tinggalkan komentar

Dua Project Slash Untuk Tahun 2009

slashsoloalbum

Slash berencana mengerjakan 2 projectnya untuk tahun depan. Yang pertama adalah project solo albumnya, dan yang kedua yaitu menggarap album terbaru Velvet Revolver. Namun untuk skala prioritas, Slash tetap mengutamakan Velvet Revolver meski band ini sedang tidak memiliki vokalis sejak Scott Weiland kembali ke grup lamanya, Stone Temple Pilots.

Banyak gitaris di penjuru dunia yang mengidolakannya dan mengharapkan ia untuk membuat album solo gitar instrumental, namun format band disebutnya masih tetap menjadi konsep dalam album ini. Uniknya, Slash berencana memakai penyanyi yang berbeda-beda untuk setiap lagu dalam album solonya tersebut. Mungkinkah memakai penyanyi yang berbeda-beda di setiap lagu merupakan salah satu taktik audisi terselubung untuk memilih front-man baru Velvet Revolver? Mungkin saja mengingat Guns N’ Roses akan segera merilis album barunya pada bulan November ini. Ditambah lagi Metallica baru saja merilis album terbaru, Death Magnetic, yang turut meramaikan kembali kiprah band-band angkatan lawas di peta musik dunia. Tentunya Slash dan mantan punggawa G N R lainnya di Velvet Revolver tidak akan hanya duduk manis dan menyaksikan dua band seangkatannya tersebut merajai musik dunia.

http://www.musisi.com

November 15, 2008 at 10:12 am Tinggalkan komentar

Magneto Band Juara I A Mild Live Wanted 2008

The Next Rising Stars 2008 jatuh pada group band asal Makassar,Magneto Band. Band yang terdiri dari Andika (vokal), Robby (gitar), Richard (drum), Uming (bas), dan Emir (keyboard)–mengalahkan 9 pesaing mereka, yaitu Blast (Jember), Butterfly (Yogyakarta), Nyawa (Banjarmasin), Upe (Jakarta), Nukalima (Bandung), Larocca (Palembang), Mandeez (Bukittinggi), Blue Mint (Medan), dan Kanan Lima (Bali).

Sepuluh band yang masuk grand final itu terpilih dari 3000-an grup yang terjaring lewat pendaftaran di 45 kota di Indonesia. Anak Makassar ini terpilih sebaga juara pertama kontes band A Mild Wanted 2008 (AML 2008), yang proses seleksi peserta hingga penjurian tingkat grand final-nya telah digulirkan dari Januari hingga Mei tahun ini.

Kemenangan Magneto diumumkan dalam konser AML Rising Stars 2008, yang digelar di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Minggu (11/5) malam. Pertunjukan tersebut merupakan penutup dari tur AML Rising Stars 2008 ke 32 kota di Indonesia, yang diadakan untuk memberi pengalaman manggung di hadapan ribuan penonton bagi band-band yang menjadi finalis dan juara tingkat regional, berdampingan dengan grup-grup yang relatif sudah punya nama di Industrui musik dan tengah bersinar, seperti Andra and the Backbone.

Penilaian tingkat grand final Wanted 2008 telah dilakukan pada Sabtu (10/5) di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Dewan jurinya terdiri dari Krisna J Sadrach (pemusik dan produser musik), sebagai ketua, Indra K Thamrin (media cetak), Anton Wahyudi (media elektronik), Indrawati Widjaja (perusahaan rekaman), Harry Santoso (promotor pertunjukan musik), dan Yonathan Nugroho (perusahaan rekaman).

Dari semua finalis tingkat nasional yang memasuki babak grand final itu, menurut dewan juri , Magneto-lah yang unggul dalam memenuhi kriteria penilaian. Kriteria penilaiannya terdiri dari tingkat komersial lagu, kemampuan bermusik, karakter vokalis, dan live performance.

Seperti kata Krisna, dalam sejumlah kesempatan, Wanted berusaha mendapatkan band-band baru yang berkualitas sekaligus bisa dnegan cepat diorbitkan di industri musik. Untuk itu, selain dinilai oleh dewan juri, penyelenggara Wanted juga memberi workshop dan klinik musik pada Kamis (8/5) dan Jumat (9/5) di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Sebelumnya, 10 grup itu juga memperoleh pengalaman menjalani rekaman lagu untuk album kompilasi Wanted 2008 di Jakarta.

Dalam konser terakhir tur Rising Star 2008, para personel dari 10 band tersebut mendapat kesempatan tampil bareng nama-nama terkenal di industri musik Indonesia. Di atas pentas, para vokalis grup-grup Wanted 2008 bergabung dengan Giring, vokalis Nidji, untu lagu Arti Sahabat, yang ada dalam album mutakhir Nidji, yang berjudul Top Up. Sebagian personel grup-grup itu juga tampil bersama untuk lagu Negeriku, karya Chrisye, yang juga dibawakan oleh para vokalis 10 band yang masuk grand final Wanted tahun lalu.

Pertunjukan Rising Star 2008 dimeriahkan pula oleh Matta dengan bintang tamu Pinkan Mambo, d’Masiv dengan Duo Maia, Andra and the Backbone, the Titans dengan bintang tamu gitaris Andra Ramadhan, GIGI dengan Audy, Peterpan dengan giring Nidji, dan Nidji dengan Ariel Peterpan.

Dalam konser itu diumumkan pula Grup Butterfly dari Yogyakarta sebagai juara kedua, Blast dari Jember sebagai juara ketiga, dan Kanan Lima dari Bali sebagai juara favorit.

Agustus 8, 2008 at 8:52 am 6 komentar

Perjalanan Music rock II

……….Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah RadioMustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrashmetal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik danMajalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hinggaKrisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor. Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini.

Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni SMA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia  (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia,Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’.

Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album. Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal dan internasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah. Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan sebagainya. 29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café.

Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama-lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue-venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu-Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk sceneBrit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super-sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yang terletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop

Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V, Parklife hingga Death Goes To The Disco. Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman. Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas- komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalahalbum kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.

Bandung scene

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu-satunya band asal Jakarta. Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secaraindependen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinyaoleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya. Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional. Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama  mengusung genre musik ini. Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground. Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini.

Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction. Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut dihighlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga Mesin Jahat.

Scene Surabaya

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh- berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut. Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP – Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja. Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya. Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah. Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu. Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan. Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event- event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II. Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo, Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini. Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12. Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.

Scene Malang

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community (T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal), Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk). Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records

Scene Bali

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA. Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil di antaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di  antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes  dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat. Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta.  Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini. Indie Indonesia Era 2000-an Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi. Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini. …And history is still in the making here…..

20 Album Rock Revolusioner di Indonesia1.

1. ROXX – Roxx

2. ROTOR – Behind The 8th Ball

3. PAS – Four Through The S.A.P

4. SUCKER HEAD – The Head Sucker

5. PUPPEN – Not A Pup E.P.

6. PURE SATURDAY – Pure Saturday

7. JASAD – C’est La Vie

8. ROTTEN CORPSE – Maggot Sickness

9. TENGKORAK – It’s A Proud To Vomit Him

10. MASAINDAHBANGETSEKALIPISAN – v/a

11. WAITING ROOM – Waiting Room

12. WALK TOGETHER, ROCK TOGETHER – v/a hc

13. PESTOL AER – …Jang Doeloe

14. RUMAHSAKIT – Nol Derajat

15. BETRAYER – Grand Voice Society

16. GRAUSIG – Abandon, Forgotten and Rotting Alone

17. ETERNAL MADNESS – Bongkar Batas

18. KOIL – Megaloblast

19. STEPFORWARD – Stories of Undying Hope

20. JKT : SKRG – v/a

Agustus 8, 2008 at 7:52 am 3 komentar

Kami Tak Berhenti Begadang

Oleh FARUK HT.

Bisakah dangdut menjadi musik bergengsi, apalagi penjaga gawang moralitas? Bisa iya, bisa tidak. Semuanya tergantung pada apa yang dimaksud gengsi, apa pula yang dimaksud moralitas itu. Semuanya juga tergantung siapa yang memberi makna terhadapnya.

Dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal atau yang termarginalkan, baik secara ekonomis maupun secara geografis. Dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi pusat kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.

Ketika saya masih kecil, duduk di sekolah dasar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di akhir 1960-an, seingat saya apa yang disebut musik dangdut belum ada. Yang ada adalah musik Melayu. Di daerah asal saya itu musik Melayu ini hidup dan tersebar melalui pertunjukan-pertunjukan keliling yang dikenal dengan rombongan Orkes Melayu. Repertoirnya sebagian besar diambil dari lagu-lagu Melayu Deli dan Malaysia akhir-akhir ini mulai muncul lagi, misalnya “Bunga Nirwana” dan “Sabda Pujangga”.

Karena saya masih kecil waktu itu, musik Melayu saya rasakan sebagai musik orang-orang tua atau setengah tua (paman saya seorang penyanyi yang tergabung dalam sebuah Orkes Melayu). Musik anak muda adalah musik pop yang diledakkan oleh antara lain Koes Plus dan kemudian disusul oleh The Mercy’s, Pambers, dsb., dan selanjutnya kelompok-kelompok musik yang membawakan musik rock: Giant Step atau Godbless dengan Achmad Albarnya, AKA dengan Ucok Harahapnya, dan Rollies dengan Gitonya.

Musik Melayu dapat dikatakan tenggelam waktu itu. Baru pada awal ’70-an, dengan kemunculan Rhoma Irama yang mengkombinasikan musik Melayu dengan musik pop dan rock, musik Melayu mulai memperoleh penggemar di kalangan anak muda. Namun, namanya segera berubah dari musik Melayu menjadi musik dangdut, meskipun jejak Melayunya tidak sepenuhnya hilang, baik dari segi iramanya, temanya, maupun penampilannya. Kelompok Rhoma Irama sendiri, waktu itu, menamakan dirinya masih sebagai orkes Melayu, yaitu Orkes Melayu Sonata.

Tapi, kehadiran Rhoma sama sekali tidak membuat musik dangdut menjadi terangkat ke lapisan atas masyarakat. Yang berhasil dilakukannya lebih merupakan revitalisasi dan reaktualisasi musik masa lalu itu ke masa kini. Tapi, dengan hidup kembalinya musik Melayu, ia justru kemudian menegaskan stratifikasi sosial yang menajam di dalam masyarakat sebagai akibat perkembangan teknologi informasi dan ekonomi Orde Baru. Kalau sebelumnya masyarakat lapisan bawah yang terbentuk sebagai akibat kebijakan ekonomi dan informasi Orde Baru seakan tidak mempunyai “corong”, sarana kultural dan musikal untuk aktualisasi dan identifikasi diri, dengan Rhoma Irama, mereka memperoleh hal tersebut. Dengan demikian, jasa besar Rhoma terletak bukan pada mengangkat musik dangdut ke strata sosial yang lebih tinggi, melainkan menghidupkan dan mereaktualisasikan musik Melayu dan memberikan sarana ekspresi dan identifikasi diri pada masyarakat lapisan bawah.

***

Yang ingin saya katakan adalah bahwa dangdut adalah lagu masyarakat lapisan bawah dan tidak akan pernah serta bahkan sebaiknya tidak menjadi lagu lapisan atas masyarakat, lagu kelompok elite. Memang, seperti halnya Sri Mulat, lagu dangdut mulai mendapat ruang yang semakin luas dan bahkan terluas di televisi, sesuatu yang sebelumnya menjadi wilayah musik pop atau musik masyarakat dari lapisan yang lebih tinggi. Namun, kecenderungan itu lebih disebabkan oleh perkembangan daya beli masyarakat lapisan bawah itu sendiri bersama dengan perkembangan teknologi media massa yang menayangkannya. Ia dapat dipastikan sama sekali bukan akibat dari perkembangan cara penyajiannya, termasuk substansi musikal dan liriknya.

Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan dihasilkannya produk-produk rekaman musik yang semakin murah dalam jumlah yang semakin besar dan dengan tingkat penyebaran yang semakin cepat dan luas dan karenanya semakin terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Dengan perkembangan ini masyarakat lapisan bawah itu menjadi pangsa pasar media dan iklan yang sangat besar pula. Iklan sendiri berhubungan dengan perkembangan industri di Indonesia. Semakin banyak dan beraneka komoditas yang ditujukan pada masyarakat lapisan bawah, semakin besar kepentingan industri untuk menjangkau masyarakat tersebut melalui media massa, terutama televisi. Dalam hubungan dengan iklan ini dapat pula dibuktikan bahwa betapa besar pun ruang yang tersedia di televisi untuk dangdut, ia tetap dipahami sebagai musik masyarakat lapisan bawah dan ditujukan pada masyarakat lapisan tersebut. Iklan-iklan untuk musik dangdut adalah iklan-iklan bagi produk-produk yang menjadi konsumsi khas masyarakat lapisan itu, misalnya obat kuat yang sangat penting bagi buruh yang telah bekerja keras secara fisik, obat kemampuan seks, obat sakit kepala atau penghilang penghilang rasa sakit lainnya, dan sejenisnya. Tidak akan ada iklan mobil mewah atau pakaian dan kosmetika mahal dipasang untuk menjadi sponsor musik dangdut.

Ike Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut yang tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan daripada kekuatan dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak akan dapat mengubah musik dangdut menjadi musik elitis. Keanggunan dan keindahan mereka sebenarnya sama saja dengan ungkapan perasaan yang halus yang muncul di banyak lagu dangdut. Tapi, kehalusan ungkapan perasaan dalam lirik itu tidak pernah menghapuskan irama dangdut sendiri, yaitu irama yang mengajak bergoyang ala film India: goyang yang berpusat di pinggul dan pinggang serta dada. Dangdut bukan musik yang mengajak orang berkontemplasi secara spiritual, melainkan mengajak orang bergerak dan bertindak secara fisik sebagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat lapisan bawah.

Banyak pujian yang diberikan kepada Elvi Sukaesih dalam hal ketepatannya menyesuaikan gerak dengan irama dan tema lirik musik. Namun, sewaktu di kampung saya mulai ada televisi, TVRI waktu itu, ibu saya pernah jengkel sekali kepada Bapak saya karena ia memelototi Elvie Sukaesih di layar televisi. Tidak ada persoalan keselarasan irama atau apa pun namanya bagi penonton ketika mereka menonton atau mendengarkan musik dangdut. Yang ada adalah citra tubuh yang menonjol, citra kekuatan fisik dan seksual. Karena, pada hal itulah kehidupan masyarakat bawah bersandar.

Rhoma Irama dikenal sebagai penyanyi dan pengarang lagu dangdut yang berhasil menyisipkan pesan-pesan moral dalam lagunya. Apakah hal itu berarti dapat mengangkat musik dangdut keluar dari “comberan”? Tidak juga. Pertama, musik dengan ajaran moralitas yang eksplisit merupakan musik yang khas masyarakat lapisan bawah, bukan masyarakat lapisan atas yang cenderung abstrak, kosmopolit, dengan pandangan mengenai moralitas yang kompleks dan ambigu, dan dengan penanaman kemampuan intelektual yang tinggi dan kehalusan perasaan. Karena itu, penempatan ajaran moral yang eksplisit seperti yang dilakukan Rhoma Irama hanya menegaskan bahwa dangdut memang musik lapisan bawah masyarakat, musik yang ia sebut sebagai “comberan”.

Kedua, masyarakat lapisan bawah punya cara dan kepentingan sendiri dalam menikmati dan menghayati musik dangdut, antara lain dengan menempatkannya sebagai alat identifikasi dan ekspresi diri. Sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam sistem stratifikasi sosial dan ekonomi yang sangat tajam dan menajam, menjadi tidak masuk akal bagi mereka untuk dapat merasa bersatu dengan kelompok sosial ekonomi yang ada di lapisan atas, yang ada di atas “comberan”. Dalam sistem stratifikasi yang demikian, yang bisa mereka lakukan adalah bagaimana bisa hidup betah di comberan saja, bukan melakukan hal yang mustahil dengan keluar dari comberan itu. Salah satunya, dengan membalikkan makna comberan itu menjadi sesuatu yang lebih berharga.

Pada waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris menjadi lagu wajib adalah “Begadang”. Meskipun lagu itu mengajarkan agar orang jangan begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena hal itu dapat merusak badan, kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti begadang atau hanya begadang kalau ada perlunya. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat penggemar dangdut, merasakan bahwa justru dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan identitas kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang harus dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa jalan kami memang lain dari mereka yang “begadang kalau ada perlunya”.

Justru dengan tetap berada di “comberan”, kami merasa bahwa kami lain dari mereka, dan bahkan kami mampu dan berani hidup dalam lingkungan yang mereka justru tidak bisa dan tidak berani melakukannya. “Comberan” sama sekali bukan hal yang menjijikkan dan hina bagi kami, melainkan sesuatu yang membanggakan. Begitupun dangdut dengan goyangnya, dengan citra kekuatan fisik dan seksnya. Bukankah banyak kelompok elit, kaum eksekutif dan kaya, yang kabarnya impotent? Bagi masyarakat lapisan bawah, kekuatan fisik dan seks, merupakan sesuatu yang membanggakan karena hanya itulah yang mereka miliki. Kalau hal itu dihilangkan dari dangdut, dangdut ditarik keluar dari comberan, masyarakat lapisan bawah tidak hanya kehilangan musik, tapi juga kehilangan identitas dan sekaligus eksistensi serta kebanggaan mereka.

Bersatulah penggemar dangdut Indonesia.

FARUK HT. adalah pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Mei 31, 2008 at 10:12 am 2 komentar

BLACK FLAG

black-flag.jpg

Formed 1976

  • Principal Members
  • Chuck Dukowski
  • Greg Ginn
  • Henry Rollins
  • Bill Stevenson

Biography

Black Flag was a hardcore punk band formed in 1976 in southern California, largely as the brainchild of Greg Ginn, the guitarist, primary songwriter and sole continuous member through multiple personnel changes.

Black Flag forged a unique sound early on that mixed the raw simplicity of the Ramones with atonal and microtonal guitar solos and frequent tempo shifts…

 

Black Flag was a hardcore punk band formed in 1977 in southern California, largely as the brainchild of Greg Ginn: the guitarist, primary songwriter and sole continuous member through multiple personnel changes. They are widely considered the first hardcore punk band.

Black Flag forged a unique sound early on that mixed the raw simplicity of the Ramones with atonal and microtonal guitar solos and frequent tempo shifts. Over this could be heard lyrics—mostly written by Ginn—about isolation, neurosis, poverty, and paranoia, themes which did not disappear when Henry Rollins took on the role of lead singer in 1981. Most of the band’s material was released on Ginn’s independent label, SST Records.

Black Flag were (and remain) well respected among their underground culture, with their influence primarily in their tireless promotion of a self-controlled DIY ethic and aesthetic. They’re often regarded as pioneers in the movement of underground do-it-yourself record labels that flourished among the 1980s’ punk rock bands. Through seemingly constant touring throughout the United States and Canada, and occasionally Europe, Black Flag established an extremely dedicated fan base. Many other musicians would follow Black Flag’s lead and book their own tours, utilizing a word-of-mouth network.

Over the course of the 1980s, Black Flag’s sound, as well as their notoriety, evolved in ways that alienated much of their early punk audience. As well as being central to the creation of hardcore, they were part of the first wave of American West Coast punk rock and are considered a key influence on the punk subculture. Along with being among the earliest punk rock groups to incorporate elements of heavy metal (particularly in their later records), there were often overt freestyles, jazz (mainly free jazz), breakbeat and contemporary classical elements in their sound, especially in Ginn’s guitar playing, and the band interspersed records and performances with instrumentals throughout their career. They also played longer, slower, and more complex songs at a time when many bands in their milieu stuck to a raw, fast, three-chord format. As a result, Black Flag’s extensive discography is more varied than many of their punk-rock contemporaries.

  (lebih…)

Maret 18, 2008 at 8:57 am 7 komentar

HELLOWEEN

 helloween-1.jpg

Sejarah tentang Helloween dimulai pada tahun 1978, saat Kai Hansen (vokal/gitar) dan Piet Sielck (vokal/gitar) bermain dalam sebuah band bernama “Gentry” di Hamburg. Sampai pada tahun 1981, Gentry berganti nama menjadi “Second Hellâ”, yang kemudian didukung oleh Markus Groskopf (ex-Traumschiff) pada bass dan Ingo Schwichtenberg pada drum. Setelah Sielck meninggalkan Second Hell untuk menjadi seorang sound engineer, Band ini kemudian berganti nama lagi menjadi “Iron Fist”. Di tahun 1982 Michael Weikath, Seorang pemain gitar dari sebuah band lokal “Powerfool”, mencoba bergabung dengan Kai dan bandnya, namun akhirnya pun memutuskan untuk bergabung juga dalam Iron Fist. Pada tahun 1984, perusahaan rekaman kecil bernama Noise mengajak band ini untuk ikut serta dalam pembuatan kompilasi album “Death Metal”. Tetap tidak puas dengan hasil mereka, Iron Fist sekali lagi merubah namanya menjadi “Helloween”, Sebuah nama yang dicetuskan oleh Ingo Schwichtenberg, bersamaan dengan ide untuk mengganti maskot lamanya dengan sebuah labu dan untuk membuat projeklabu ke lagu-lagu yang lebih spesifik, yang mana kemudian akan menjadi cirihasnya Helloween. Kontribusi pertamanya pada Rekaman album “Death Metal” masih kurang baik, versi slownya “Metal Invaders” dan yang kedua adalah sebuah lagu yang ditulis Weikath untuk band Powerfool berjudul “Oernst Of Life”.Di tahun 1985 Helloween Merilis mini album berisikan 5 Lagu Berjudul “Helloween”, yang disebut juga dengan “the Mini-LP”, dan pada bulan oktober keluarlah “Walls Of Jericho” yang berisikan “Metal Invaders” dalam versi yang sudah disempurnakan. Kedua Rekaman tersebut diproduseri oleh Harris Johns. dan kemudian diikuti dengan sebuah EP berjudul “Judas” album ini dibuat untuk mencoba studio “Horus” di Hamburg. Helloween sudah dapat menarik perhatian para media dan mendapat sambutan yang positif. pada bulan November 1986, sementara tour berlangsung untuk promosi rekaman ini, Hansen menyadari bahwa kemampuan menyanyinya terhambat, untuk band ini yang mulai melangkah naik. Lebih lagi, dia merasa terlalu memaksakan diri dengan tour yang panjang dan ketat, yang mana akan berakibat buruk untuk suaranya. Ralf Scheepers yang berasal dari sebuah band bernama Tyran Pace setuju untuk menyelesaikan tour ini bersama dengan Helloween tetapi tidak berkeinginan untuk bergabung kedalam band. Untungnya, setelah tour selesai didapatkanlah seorang penyanyi muda yang sempurna dalam umur yang ke 18 bernama (silver-throat) Michael Kiske (ex-Ill Prophecy). Pada bulan Desember setelah merasa cukup perfaya diri untuk membuat sebuah double-album, tetapi Noise, label mereka menolaknya. Yang mana kemudian album yang dikeluarkan tahun 1987 volume pertama dari sebuah konsep double album.

1987-1989“Keeper Of The Seven Keys Part I” yang diprodeseri oleh Tommy Newton/Tommy Hansen mendapat banyak sambutan yang sangat antusias. Helloween bahkan mendapatkan kesuksesan di America dan Jepang dan bahkan sudah mempunyai fans yang banyak. Bagian keduanya dirilis tahun 1988 dengan judul “Keeper Of The Seven Keys Part II”, yang bahkan mejadikannya lebih sukses lagi dari yang diduga. Sebelum tour berjalan, Helloween menyewa seorang pemain keyboard bernama Ja’rn Ellerbrock sebagai pemain tetap selama tour. Tour Dunia bertajuk “Pumpkins Fly Free” adalah tour tersukses mereka namun pada bulan Desember Kai Hansen meninggalkan band ini karena masalah pribadi dengan personil yang lain. Kai kemudian pindah untuk kemudian membentuk Band buatannya sendiri bernama “Gamma Ray”. Dibulan Januari 1989, Helloween menemukan pemain gitar pengganti bernama Roland Grapow (ex-Rampage) berasal dari Hamburg, yang ikut meyelesaikan tournya hingga selesai. Pada tahun yang sama pula, sebuah album live dirilis dalam beberapa judul, yaitu: “Live In The U.K.” di Eropa,“I Want Out – Live” di Amerika dan “Keepers Live” di Jepang. Agar supaya uang mengalir terus, Noise record merilis 2 the Best album, yaitu: “The Best, The Rest, The Rare” dan “Pumpkin Tracks” di tahun 1989. Akhirnya pun Helloween Menyadari bahwa band ini telah di peras oleh Noise Record dan akhirnya memutuskan untuk pindah ke Major Label EMI. Noise Record akhirnya mengambil jalan hukum dengan berdalil bahwa Helloween telah telah memutuskan kontraknya. Helloween akhirnya memenangkan kasusnya dipersidangan biasa tetapi mendapat kekalahan di pengadilan tinggi. Helloween terancam larangan dalam merilis lagu-lagu mereka. Mereka tidak diijinkan merilis lagu-lagu mereka terkecuali di Noise Record. Hal ini meninggalkan banyak pertanyaan kepada para fans di Eropa mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Helloween.

1989-1993Akhirnya pada tahun 1991 single “Kids Of The Century” untuk album baru dirilis, yang berisikan sebuah pesan dari band ini tentang kevakuman mereka selama hampir 3 tahun dan kenapa mereka tidak dapat merilis album baru mereka selama persidangan masih berjalan. Album pertama dengan Grapow, “Pink Bubbles Go Ape”, menjadi kesuksesan mereka yang komersil tetapi tetap terlihat lebih rendah dari kesuksesan album sebelumnya. Hampir seluruh kesalahan dilimpahkan kepada produser Chris Tsangarides mengenai hal produksi dan mixingnya, tetapi dalam hal ini penulisan lagu juga tidak terlalu terfokus. Namun begitu, album ini pun memiliki beberapa lagu yang sangat bagus dari semua personil.Masalahnya tidak hanya itu saja, masih ada lagi masalah yang semakin berkembang yaitu konflik diantara personil, disatu sisi terdapat Kiske/Schwichtenberg dan disisi lain terdapat Weikath/Grapow. Weikath mencoba mengajak temannya Andi Deris, Vokalis dari sebuah Band bernama Pink Cream 69, untuk bergabung bersama Helloween, tetapi Andi merasa masih cocok dengan bandnya. Karena permasalahn mereka yang cukup besar, Helloween takut akan tidak mendapatkan hasil sama sekali, lalu mereka segera meluncurkan album “Chameleon” di awal tahun 1993, yang mana terlihat seperti sebuah reuni dengan produser lama mereka Tommy Hansen, tetapi album ini pun malah tidak mendapatkan kesuksesan sama sekali. Terlepas dari produksi album yang bagus dan banyaknya lagu-lagu yang berkualitas, hal ini menyebabkan Helloween kehilangan banyak fans, untuk beberapa fans mungkin dapat menerima musik baru Helloween yang mulai beraliran AOR dan mainstream rock, Yang hal ini tidak diharapkan dari musiknya Helloween. Penampilan yang minim dalam tour meraka cukup memperlihatkan ketegangan yang sedang terjadi dalam band mereka saat itu. Sebelum tour ke Jepang, pemain drum mereka Schwichtenberg mwndapat masalah dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang, dan kemudian digantikan oleh pemain drum pengganti bernama Richie Abdel-Nabi. Lebih parah lagi, Helloween bahkan dipecat oleh EMI.

1993 Setelah berakhirnya tour pada bulan Desember 1993, Abdel-Nabi dikeluarkan dari posisinya yang mana merupakan pemikiran hampir seluruh personil bahwa beliau tidak cocok untuk posisinya. Ketegangan bertambah parah dan semakin memanas, dan 2 minggu sebelum proses perekaman selanjutnya,Helloween memecat Kiske, dan untuk seterusnya Band ini tidak ingin bergabung lagi bahkan dilain waktu. Weikath menghubungi Deris untuk yang kedua kalinya dan meyakinkan dia untuk mengambil posisi yang pas. Pada masa itu Band Pink Cream 69 mulai tidak berkembang, dan dia pikir selama di tidak mengambil pekerjaan orang, Deris Memutuskan untuk mengambil kesempatan ini. Dan Kemudian pada bulan January 1994, Helloween mengajak Uli Kusch (ex-Axe La Chapelle/Gamma Ray) sebagai pemain drum baru mereka dan pindah kontrak ke Castle Communications.

1994-2001Selama masa produksi untuk album selanjutnya, Helloween era baru merasakan keharusan untuk bangkit lagi seperti Eranya Keeper dan jangan seperti album yang terakhir yang malah menghancurkan band ini. Mereka tahu jika dalam album yang baru ini tidak mendapatkan kesuksesan,mungkin tidak akan ada lagi Helloween. Hal ini membuat terkejut para media, Album “Master Of The Rings” pun sukses dalam waktu yang singkat dan Helloween dapat kembali membangkitkan kekuatan lama mereka, Andi Deris membuktikan bahwa dia merupakan orang yang pantas menggantikan Kiske. Hampir setahun sudah album ini dirilis di Amerika dengan Bonus berisikan tidak lebih dari 7 lagu selain untuk merayakan hal kesuksesan ini. Tetapi Pada tanggal 8 Maret 1995, sebuah tragedi terjadi saat mantan pemain drum Helloween ‘Ingo Schwichtenberg’ bunuh diri di Hamburg.Helloween mendedikasikan album baru mereka nanti untuk Ingo.“The Time Of The Oath”, yang diproduseri oleh Tommy Hansen dan dirilis di tahun 1996, album ini diambil berdasarkan sebuah visi dari Nostradamus, yang berhasil melewati banyak masalah selama bertahun-tahun sebelum Millennium.Selama Tour Keliling dunianya berjalan, para fans merayakan kembalinya Helloween kejajaran musik papan atas. Kurang dari enam bulan kemudian, album live “High Live” diluncurkan, yang direkam pada saat konser di Italia dan Spanyol. Majalah Jepang “BURRN” menobatkan Helloween sebagai band terbaik ditahun 1996.

  (lebih…)

Maret 18, 2008 at 8:25 am 1 komentar

SKINHEAD INDONESIA

Tentang Skinhead Indonesia

Sebagai salah satu subcultures yang semakin tumbuh berkembang di berbagai belahan dunia, Skinhead telah menjadi bagian dari budaya sebuah bangsa yang kuat, tak terkecuali di IndOi!nesia. Rentang perbedaan jarak dan waktu telah menjadi jurang pemisah antar komunitas kaum Skinhead yang telah tumbuh dan berdiri tegak di seluruh kepulauan di IndOi!nesia. Untuk itu, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, Skinheadindonesia.com berupaya hadir untuk bisa merangkul dan menjabat erat para kaum Skinhead di seluruh pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke tanpa membedakan suku, agama dan ras.
Situs Skinhead Indonesia dibangun untuk bisa menjadi “rumah” bagi para komunitas Skinhead di Indonesia dan menjadi wadah dalam menuangkan ide, pikiran maupun kreativitas berkarya seni. Dengan mengenyampingkan paham dan ideologi yang dianut, Skinheadindonesia.com diharapkan bisa menjadi jembatan yang mempertemukan para komunitas kaum Skinhead di seluruh pelosok nusantara. Dengan diciptakannya situs ini, tak menutup pintu bagi para komunitas subcultures yang lain untuk ikut bergabung dan menjadi bagian dari keluarga besar Skinhead Indonesia.

Sumber : www.skinheadindonesia.com

centongss@yahoo.com
Centong

Maret 17, 2008 at 8:15 am 16 komentar

SIRKUIT

sas_sirkuit.jpg
SIRKUIT
Ciptaan : Arthur Kaunang, Soetanto S.


Gelanggang sirkuit
arena tuk berpacu
Mobil-mobil
dari segala jenis
dan model baru
Dalam pertaruhan
jiwa raga
dan semangat membaja oh…

Kita saling berlaga
demi kebanggaan
Pantang untuk menyerah
menguji ketrampilan
B’rani tantang maut
demi tekad
untuk menggenggam prestasi

Oh oh oh oh (fantastis)
prestasi…
oh oh oh oh

(lebih…)

Januari 30, 2008 at 12:21 am Tinggalkan komentar

Older Posts


TANGGALAN

April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Kategori

Arsip

Blog Stats

  • 106.478 hits

Top Clicks

  • Tidak ada

Feeds